Ceritaku tentang Kinan, peri kecilku. Usianya hampir 2 tahun, sedang lucu-lucunya, dan aku pun sedang senang-senangnya punya anak. Saat itu pula aku diterima di PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) Anak. Kisah kami pun dimulai.
Ada banyak pilihan buat emak-emak residen sepertiku, apakah mau membawa anak bersama kita, istilah kami real mama atau meninggalkan mereka di kota asal bersama keluarga (pseudo-mama, pseudo = semu) ππ . Suami dan mertuaku tinggal di Jogja jadilah kubawaserta Kinan. Karena aku juga termasuk tipe emak-emak yang suka melow kalau jauh dari anak π
Residen semester 1 mempunyai jadwal yg luar biasa, padat merayap dengan kewajiban jaga malam yang menguras energi. Sebelum aku sekolah, semua urusan tetek-bengek Kinan aku yang atur sendiri. Dari dia mulai bangun tidur sampai tidur lagi semua dalam supervisiku π. Jadwalku sebagai dokter umum di RSUD cukup dapat ditolerir Kinan. Keadaan berubah 180Β° saat aku sekolah. Hampir 80% atau bahkan 100% pengasuhan Kinan aku limpahkan ke orang tua, suami dan pengasuh. Hingga Kinan pun tidak mau lagi tidur bersamaku. Sedih banget rasanya. Dia bingung dengan ritme kerjaku. Kadang aku tidur di rumah, kadang tidak. Kadang di dalam kota, kadang di luar kota. Ini goncangan pertama bagi Kinan dan aku.
Di saat itu pula aku mutuskan menyapih Kinan. Prosesnya berlangsung sangat lancar, terlalu lancar malah. Hanya dalam waktu 2 malam aku bilang kepada Kinan seperti ini, “Kinan sekarang sudah 2 tahun ya, artinya sudah besar. Anak besar itu tidak nenen lagi”. Seperti itu, aku katakan berulang-ulang pada Kinan. Malam ketiga, Kinan sudah tidak minta nenen aku lagi. Bahkan malam-malam sesudahnyapun saat aku menawarinya nenen, dia tidak mau. Nangislah aku, huaa.. Belum ikhlas ternyata emaknya ini ππ
Stase luar kota. Baik di tahap junior maupun senior, membuat goncangan-goncangan juga bagi kami. Butuh waktu untuk PDKT dengan Kinan sepulangnya dari stase luar kota. Foto di atas adalah saat aku stase junior di Klaten. Kinan akan mengunjungiku ke rumah sakit diantar ayahnya untuk bermain-main sebentar denganku. Kadang hanya untuk mengobati kangen disuapi makan olehku. Begitu juga saat stase di Banyumas, Muntilan, Wates, dan Sleman, Kinan akan datang berkunjung. Lama-lama Kinan familiar dengan ritmeku. Dia sudah terbiasa menghadiri acara keluarga hanya ditemani suami atau keluargaku saja. Kinan akan menjawab Ibu di rumah sakit saat ditanya kenapa Ibu tidak ikut.
Sekarang aku sudah semester 8, sudah hampir selesai masa studiku. Hubunganku dengan Kinan semakin baik seiring aku naik tahap dari junior ke madya dan saat ini senior. Tapiiii, hampir tiap hari aku berdebat dengan Kinan. Hasratku untuk mengambil alih urusan perKinanan sangat besar. Ini ibarat kata nafsu emak-emak pada diriku yang tertunda. Namun sudah 4 tahun Kinan diasuh tidak dengan gayaku. Pasti dia kaget karena tidak terbiasa dan terlanjur sudah terpola. Kami sering sekali berdebat dan tiap kali aku menghabiskan waktu dengan Kinan dia malah rewel, manjanya ga ketulungan, berprilaku yang hmmm, menguras simpanan kesabaranku yang sedikit ini. Aku akhirnya tersadar bahwa Kinan adalah hasil dari sebuah proses yang tidak mulus seperti anak-anak pada umumnya. Aku juga kadang lupa bahwa dia bukan lagi anak 2 tahun saat terakhir ingatanku masih penuh tentangnya. Kinan sudah 5 tahun sekarang lengkap dengan pemikiran, pendapat dan kemauan yang seringkali membuatku terpana.
Seperti kejadian kemarin malam. Aku menegurnya karena dia sangat rewel untuk urusan yang tidak jelas. Dia dengan entengnya bilang,” Ibu, Kinan itu rewel dan sering marah-marah karena Ibu sering tidak ada”. Makjleb banget rasanya. Aku tidak bisa berkata-kata. Aku hanya bilang maaf dan kupeluk dia. Setelah kupeluk dia ngeloyor pergi sambil berkata, “Kinan juga minta maaf ya Bu, sering marah-marah ke Ibu”. ππ Lain hari dia memberiku bunga di dalam pot kecil bekas mainan playd** nya sambil bilang,” ini buat Ibu, biar semangat belajarnya”. Ah, manis sekali anaku.
Aku tidak mungkin merubah apa yang sudah membentuk Kinan kemarin. Tapi aku akan memperkaya jiwanya. Bahwa yang dia alami bukanlah hal buruk. Karena aku sedang mengajarinya sebuah perjuangan panjang. Bahwa bagi perempuan seperti ibunya itu tetap bisa meraih mimpi. Menjadi perempuan itu super lengkap usahanya. Mungkin dalam satu waktu fungsi sebagai emak-emak, fungsi sebagai istri, dan fungsi sebagai pribadi dilakukan bersamaan. Aku akan membuat Kinan bangga bukan karena punya ibu yang seorang spesialis anak. Terlalu dangkal itu. Tapi aku akan membuat Kinan bangga mempunyai ibu yang berhasil menggapai mimpi-mimpinya. Jadi Kinan, bermimpilah setinggi-tingginya dan wujudkanlah. Buat emak-emak yang lain, bersemangatlah.
Sun sayang,
Ibu Nina